Ilustrasi: Rapat Membahas Ide |
Beberapa peserta, setelah selesai mengikuti training, kami hubungi dan tanyakan apakah ide brilian dan action plan yang mereka buat saat pelatihan, sudah diimplementasikan ke tempat kerja. Hal yang mengejutkan adalah, hampir 80 persen tidak lagi terdengar sesemangat ketika mereka sedang di kelas pelatihan.
Ada yang mengatakan atasan atau pimpinan terlalu sibuk dan tidak mau mendengarkan ide mereka. Ada juga yang bilang, pemikiran atau ide mereka dianggap sesuatu yang nyeleneh, menyimpang jalur, bahkan dinilai sebagai upaya mencari perhatian saja.
Di zaman ketika tuntutan untuk memberi "value adding" terasa begitu kuat dan kreativitas senantiasa disebut-sebut sebagai modal untuk memenangkan kompetisi, ternyata realitanya masih banyak atasan atau pejabat yang enggan berubah atau tidak mau repot mengubah cara kerja lama yang sudah mapan. Padahal, kita semua tahu, bila kita lebih banyak berfokus pada "here and now" dan menganggap ide adalah hambatan, organisasi pasti tidak akan berkembang.
Dengan begitu kerasnya kompetisi, kita sadar bahwa organisasi tidak mungkin mempraktikkan pengambilan keputusan secara "top-down" saja. Organisasi yang sehat mendorong keputusan juga diambil di kalangan manajemen tengah, bahkan lapisan bawah. Dengan keyakinan ini, bagaimana kita survive memunculkan ide di perusahaan yang sudah mantap, tapi alot untuk berubah?
Jangan diam saja
Posisi yunior tidak pernah enak. Tak sedikit atasan yang mengeluhkan gejala para fresh graduate yang tidak mempunyai inisiatif, banyak menunggu. Sebaliknya, banyak juga komentar negatif atasan terhadap pengajuan ide-ide para yunior. Ada yang mengatakan bahwa apa yang dikemukakan anak muda terlalu banyak teori, belum terbukti dan teruji, tidak "ngambah tanah", atau bahkan sok tahu.
Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa ada kesenjangan antara apa yang dilihat oleh orang yang baru masuk, dengan orang yang sudah lama berada di dalam. Kesenjangan juga pastinya terasa antara individu yang masih fresh dengan ilmu yang baru dipelajari dengan orang yang banyak berpraktek dan sudah makan asam-garam. Siapa yang lebih berkuasa? Biasanya yang senior. Tampak, baik yang senior maupun yunior, harus sama-sama sabar untuk mendengarkan, menyikapi perbedaan dan kesenjangan.
Gejala "merasa benar sendiri" inilah yang sering menghambat kita dalam menjual ide. Terkadang kita juga melupakan kenyataan bahwa si pendengar presentasi mempunyai cara dan referensinya sendiri dalam menginterpretasikannya. Tidak semua orang siap menerima bahwa adanya misunderstanding ketika ide pertama kali diungkapkan adalah hal yang wajar. Beberapa orang yang saya temui survive menembus jaringan para senior, selalu menyatakan kiat bahwa kita perlu siap dengan fakta, kita perlu banyak bertanya, dan kita mengemukakan kasus, sehingga ide kita bisa dengan lebih mudah diserap oleh orang lain. Jadi, sebagai penjual ide, kita memang perlu aktif, tidak pernah pasif.
Tembus pikiran penerima ide
Champions turn "no" into "yes". Demikian ungkapan lama. Hal yang perlu kita ingat adalah bukan sekadar dicerna dan diterimanya ide kita, tetapi juga pemahaman mengenai proses berpikir si penerima ide. Bagaimana mungkin kita bisa memberi brutal facts atau mengusulkan program free of charge untuk kepentingan marketing, mengusulkan promosi produk yang selama ini tidak pernah bisa terpasarkan dengan baik, atau bahkan memotong tunjangan tertentu dengan empuk dan langsung disetujui?
Sikap keras kepala dipunyai semua orang. Memengaruhi orang lain, terutama atasan atau para senior untuk mengambil alih inisiatif Anda adalah sebuah paradoks besar. Apalagi bila kita masih dianggap sebagai outsider. Akan tetapi, kita juga mesti tetap sadar bahwa dalam kehidupan karier kita, menjual ide tetap merupakan kewajiban.
Mengikuti arus, irama, bahasa yang beredar di sebuah kelompok akan membawa efek magic bila kita menawarkan ide baru. Apalagi bila dalam mempresentasikannya, kita sudah siap menggunakan kata-kata yang positif, memuat manfaat bagi atasan dan organisasi, dan menyajikannya dalam business case yang didukung bukti-bukti. Kita pun bisa memperhitungkan bahwa tidak selamanya individu itu auditif, visual, atau kinestetik. Untuk itu, kita perlu bisa berganti gaya presentasi untuk menembus pikiran penerima ide. Terkadang dengan membantunya memvisualisasikan atau memeragakan ide kita. Orang tidak senang mengaku bahwa mereka tidak mengerti, padahal setiap dari kita mengerti bahwa orang tidak akan membeli ide yang tidak dipahaminya.
Pastikan "alignment"
Tentunya ada alasan mengapa perusahaan melakukan praktik-praktik manajemen. Demikian juga ada alasan mengapa atasan memangku jabatan dan tugasnya. Seorang yunior yang baru masuk dan ambisius bisa saja penuh dengan ide-ide baru. Hanya saja, ada kemungkinan bahwa ide baru itu belum sejalan dengan sasaran dan visi perusahaan. Untuk itu, kita pun perlu mengecek, memerhatikan, dan bertanya apakah ide ini tetap sejalan dan menunjang upaya-upaya yang sudah ada saat ini.
Kita memang terkadang tidak bisa ambisius dan mengira jual ide bisa diselesaikan dalam sekejap atau satu kali saja. Kita perlu menggunakan multimedia dan perlu berobsesi dalam menjual ide ini. Mengingat kita menjual ide ke manusia lain, hubungan antarmanusia juga sangat menentukan kesuksesan kita dalam berjualan ide. Bila dalam mengungkapkan pendapat, salah satu audience kita sudah mengenal ide tersebut dan sudah "membeli" sebagian ide kita, pastinya orang ini akan berperan sebagai "co-champion" kita.
Ide adalah produk manusia pekerja yang tidak pernah habis. Ide tidak sama artinya bila belum terimplementasi. Kadang-kadang kita perlu menunggu tahap demi tahap agar keseluruhan ide terealisasi. Namun, kita perlu bergerak aktif, mencari celah untuk bisa menjual ide demi kemajuan tim dan organisasi. (sumber: www.kompas.com).
No comments:
Post a Comment